Pagi ini matahari masih bermalas keluar, hanya mengintip sebentar dari balik selimut hangat awan. Aku tersenyum getir melihatnya, sama seperti kegetiranku melihat pemuda-pemuda kampungku yang bermalas meninggalkan kebodohannya. Aku tak tahu apa yang ada dalam benak mereka. Hal-hal bodoh yang menurutku tidak ada juntrungan masa depannya malah mereka sukai dan tekuni ketimbang menimba ilmu dari jalur pendidikan formal.
Tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat sini menyukai hiburan musik dangdut. Apalagi daerah tempat tinggalku ini terkenal sebagai gudangnya biduan cantik dan seksi, ikon hiburan musik dangdut. Hampir setiap warga yang memiliki hajat, selalu mengundang hiburan musik dangdut. Hal ini akan menjadi kabar bahagia untuk pemuda-pemuda kampungku. Di samping bahagia akan melihat biduan-biduan seksi, mereka juga akan berpesta pora minum-minuman keras. Bahkan tidak jarang mereka terlibat dalam bentrokan antarpemuda ketika menikmati hiburan musik dangdut tersebut. Ini termasuk dalam hal bodoh yang aku katakan tadi.
Di hari yang lain, pemuda-pemuda sini sering menghabiskan waktu di warung kopi. Yang mereka kerjakan tidak lain adalah merokok dan ngopi. Sambil bercengkerama dan membicarakan hal-hal bodoh lain, mereka bisa betah berjam-jam di warung kopi. Bayangkan, di usia belasan seperti itu mereka lebih memilih bangku warung kopi ketimbang bangku sekolah formal. Aku memang menyutujui pendapat yang mengatakan bahwa belajar bisa dilakukan dimana saja kapan saja dan oleh siapa saja, tidak hanya di sekolah. Tidak ada yang menyalahkan hal ini, namun apabila dapat memperoleh keduanya kenapa tidak? Saat ini, pemerintah sudah mencanangkan wajib belajar sembilan tahun. Sudah dapat dipastikan bahwa biaya pendidikan selama sembilan tahun itu dibebankan kepada pemerintah. Paling-paling mereka hanya butuh membeli keperluan sekolah seperti sepatu, tas, dan alat tulis. Itu pun tidak semua sekolah mewajibkannya.
Mengetahui keadaan yang seperti itu seharusnya mereka bisa memperoleh pendidikan formal secara gratis, juga bisa memperoleh mendidikan nonformal di waktu yang lain. Menurutku, hal ini hanya sebatas kemauan ya dan tidak. Sungguh ironis melihat mereka yang memilih "tidak" untuk mendapatkan keduanya. Si Anu misalnya, dulu dia pernah duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama Negeri selama setahun. Setahun mengenyam pendidikan di bangku sekolah formal tidak menjadikannya berpandangan jauh ke depan menatap masa depan. Justru dia merasa kelelahan menghadapi sikap-sikap formal itu dan memilih untuk berbelok ke pendidikan non formalnya di warung kopi hingga saat ini.
***
Matahari tampak malu-malu mengintip dari balik jendala ruang tamuku tempat aku menulis tulisan ini. Sama malu-malunya dengan pemuda-pemudi sini yang penasaran dengan dunia kerja di Ibu Kota. Tak lulus dari pendidikan formal yang tinggi tidak membuat keberanian jiwa muda mereka surut. Awalnya hanya satu dua orang pemuda yang tergiur oleh bujukan salah satu agen penyalur tenaga kerja ke Ibu Kota. Tiga empat dari mereka yang melihat temannya mampu berjuang di sana pun menyusul berangkat. Jadilah mereka buruh-buruh kasar Ibu Kota yang setiap harinya berpeluh untuk memperoleh sesuap nasi. Usia belasan yang seharusnya mereka gunakan untuk merajut prestasi, justru harus ditukar dengan angan-angan basi.
Banyak pula dari mereka yang memilih untuk mencari pendamping yang bersedia menemani mereka menanggung hidup susah bersama. Mungkin mereka pikir dengan memiliki pasangan, mereka akan lebih mudah menyelesaikan masalah yang sudah terlanjur mereka perbuat. Masalah yang akan mendarah daging dan turun menurun itu mereka pikir bisa terselesaikan dengan MENIKAH. Dengan pendidikan yang minim itu bagaimana mungkin menjadi kepala keluarga yang bijaksana? Dengan pendidikan yang minim itu bagaimana mungkin menjadi Ibu yang dapat menjawab segala pertanyaan anaknya?
Aku sendiri merupakan salah satu Sarjana Pendidikan dari Universitas Negeri di sini. Melihat kenyataan yang seperti itu membuatku ingin berteriak di depan mereka bahwa PENDIDIKAN ITU PENTING! Di tahun yang penuh dengan pemuda pemudi berprestasi ini bahkan masih ada usia belasan yang memilih Warung Kopi ketimbang pendidikan formal. Sebenarnya menu apa yang ditawarkan Warung Kopi sehingga membuat pemuda-pemuda itu menyukainya? Apa yang mereka dapatkan di sana? Ketenaran sebagai pemuda jagoan? Label pemuda funky dan gaul? HELLOOOO!! INI DUA RIBU TIGA BELAS MEN!!! Kalian bakalan tenar kalau kalian berprestasi! Kalian bakal dicap gaul kalau kalian kreatif! Buka mata kalian, lihatlah ke depan, tatap dunia di luar tempurung desa kita.
Kadang aku merasa bersalah jika harus melaksanakan tugas mengabdi di daerah orang lain. Aku merasa bahwa daerah tempat tinggalku yang sebenarnya lebih membutuhkanku. Berulang kali aku mikirkan hal ini, mulai dari rencana mengabdi, merintis usaha, sampai membentuk organisasi yang dapat mengumpulkan mereka. Sayangnya semua itu hanya sebatas rencana, keterbatasanku adalah memulai. Dari mana aku harus memulainya, dengan siapa aku dapat bekerjasama, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang selalu menggangguku untuk memulai.
***
Sepertinya matahari memang enggan menyapa kita hari ini, dan aku juga sudah lelah menceritakan sudut lain dari Negeri yang gemah ripah loh jinawi ini. Untuk kalian yang memiliki ide dan solusi atas keadaan di atas, jangan enggan berbagi di kotak komentar yang telah disediakan. Dan untuk kalian yang sekampung halaman denganku, mari kita bergabung dan bersama-sama membuka tempurung desa kita.
Ditulis di rumah kecil di salah satu gang di Desa Welahan, Rt 03 Rw 03, Kecamatan Welahan, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pembaca Dermawan nulis komentar, Pembaca Sopan follow Ulfah Mey Lida's Blog, Pembaca Budiman nulis komentar dan follow Ulfah Mey Lida's Blog.