Laman

Rabu, 06 November 2013

My Mirror


Entah mengapa setiap hari aku semakin merasa bahwa aku merupakan cerminan dari Ibukku. Tingkah lakuku, cara bicaraku, pola pikirku, bahkan watak dasarku itu aku warisi dari beliau. Ketika aku melihat beliau bercengkrama dengan teman-temannya, tidak jarang aku terdiam seketika dan melihat ke diriku sendiri. Aku merasa Ibuk seperti aku, atau aku yang seperti Ibuk.

Beliau wanita pekerja keras saingan terberat Bapak di keluarga. Setiap hari Ibuk membanting tulang berkarya menciptakan pakaian-pakaian baru untuk orang lain. Aku tidak bilang Ibukku bekerja karena memang beliau tidak bekerja, namun menghasilkan karya. Tidak jarang, pakaian-pakaian yang beliau buat itu merupakan model ciptaannya sendiri. Kualitas jahitannya bisa kalian bandingkan dengan pakaian dari merk-merk ternama yang ada di supermarket. Aku berani bilang seperti ini karena memang hasil jahitan Ibukku sudah dipercaya dari kalingan bawah hingga menengah atas.

Beliau merintis usaha ini dari nol. Awalnya Ibuk hanya ikut membantu di usaha jahit kakaknya (Bu dhe), lama-kelamaan Ibuk menguasai ilmu jahit sendiri, dan akhirnya memulai usaha jahit di rumah. Dari aku belum lahir, sampai aku menyelesaikan kuliahku di bidang pendidikan ini. Hasil yang diperoleh dari usaha jahit Ibuk ini lumayan, cukup untuk membiayai keluarga dan membayar gaji 2 karyawan Ibuk. Hampir sebagian besar keuangan keluarga ditopang dari usaha jahit Ibuk ini.

Ibuk dilahirkan dari orang tua yang sangat disiplin. Dari kecil Ibuk dididik untuk bekerja keras dan hidup mandiri. Aku tahu semua ini dari cerita-cerita yang beliau tuturkan padaku. Sejak kecil ibu dibiasakan oleh ayahnya (Alm. Mbah Kakung) untuk bangun subuh. Mungkin itu yang membuat Ibuk tidak pernah mengeluh jika setiap hari harus lembur untuk menyelesaikan karya-karyanya. Ya, hampir setiap hari Ibuk menikmati waktu tidur malamnya yang sangat terbatas. Beliau tidak pernah mengeluh, hanya sesekali memintaku memijit sendi-sendi kakinya yang lelah mengayuh mesih jahit.

Ibukku ini termasuk dalam kategori ibu-ibu yang cerewet. Ketika beliau berbicara, yang bisa dilakukan hanyalah diam mendengarkan, karena kita tidak akan bisa menyelanya bicara. Aku curiga sifat ini sudah ada dari ibunya Ibuk (Mbah Putri) dan diturunkan ke Ibuk, karena saudara-saudara Ibuk (Bu Dhe dan Bu Lek) hampir sama cerewetnya. Dan sekarang sifat cerewet itu Ibuk wariskan kepadaku.

Segala yang dilakukan Ibuk cenderung grusa-grusu, kalau dalam Bahasa Indonesia artinya tergesa-gesa. Meskipun sudah dipersiapkan jauh-jauh hari, namun ketika hari H pasti ada sesuatu yang membuatnya grusa-grusu. Aku tidak habis pikir bahwa hal ini pun aku alami. Aku baru menyadarinya di akhir masa kuliahku, tepatnya pada saat mengerjakan skripsi. Lembar-lembar revisi sudah aku kerjakan jauh-jauh hari, namun ketika tiba hari bimbingan, file revisi yang sudah aku kerjakan corupt, terkena virus, ban motor kempes, flatshoes entah kemana, atau masalah-masalah lain yang membuat aku grusa-grusu. Aku tidak suka pada sifat Ibuk yang satu ini, namun aku tahu pasti sulit menghilangkannya, seperti aku yang selalu berusaha menghilangkan sifat ini dan selalu gagal.

Selain itu, aku dan Ibuk sama-sama memiliki hati yang rapuh. Mudah tersentuh, mudah terharu, dan mudah menangis. Contoh simpelnya, kami memiliki kegemaran film yang sama, yaitu Bollywood. Kami sering menghabiskan waktu bersama menonton film Bollywood yang disajikan oleh salah satu stasiun TV Indonesia. Berjam-jam kami menikmati film bersama, dan ketika sampai adegan klimaksnya, kami pun menangis bersama. Meskipun film yang disajikan hanya itu-itu saja, namun kami masih saja mengeluarkan air mata di adegan klimaksnya. Hahaha.

Ini sungguh-sungguh memalukan dan tidak pantas untuk dipamerkan, namun aku senang sudah menjadi refleksi dari Ibuk. Aku ingin menjadikan refleksi pekerja keras Ibuk itu lekat di jiwaku, dan berharap bisa memperbaiki refleksi yang buruk menjadi lebih baik lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pembaca Dermawan nulis komentar, Pembaca Sopan follow Ulfah Mey Lida's Blog, Pembaca Budiman nulis komentar dan follow Ulfah Mey Lida's Blog.