Laman

Kamis, 09 Januari 2014

Di mana Jantung Sekolahku?

Hai!

Ini hari keduaku. Masuk sekolah tetap pukul 7. Guru-guru yang masuk hari ini berbeda dengan yang masuk kemarin. Ya, (mungkin) memang beginilah mobilitas guru wiyata di sekolah (swasta). Masuk sekolah hanya saat ada jam mengajar saja, bahkan untuk masalah waktu berangkat dan pulang saja, guru wiyata menyesuaikan dengan jadwalnya. Misalnya hari ini jadwal mengajarnya pada jam ke 3-4, sekitar pukul 09.30-11.00 WIB. Biasanya guru yang bersangkutan baru hadir di sekolah sekitar pukul 8 dan pulang selepas pukul 11. Hal ini disebabkan (mungkin, lagi) mereka memiliki sekolah wiyata yang lain. Jadi mereka menyesuaikan jadwal mengajar mereka dengan beberapa sekolah tempatnya wiyata bakti.

Bapak Ibu guru yang hadir di kantor pagi ini kebanyakan masih seumuran denganku, tidak jauh berbeda dengan kemarin. (mungkin) Sebagian besar guru-guru wiyata di sini memang masih seumuran denganku, para fresh graduate. Sedikit lega, aku tidak bakalan canggung untuk berinteraksi dengan mereka, batinku saat itu. Sedikit basa-basi, perkenalan, saling menyebutkan nama, alamat, dan sudah berapa lama mengajar di sini. Ternyata mereka satu tahun lebih berpengalaman daripada aku. Pagi ini, kami asyik bercengkrama dengan perkenalan basa-basi layaknya orang normal lainnya. Stop, ralat, bukan kami, melainkan mereka. Mereka asyik bercengkrama dengan obrolan renyah sebagai salam perkenalan kepadaku. Aku lebih banyak diam mendengarkan, ikut tertawa sesekali, dalam sedikit menimpali obrolan yang aku pahami.

Salam perkenalan basa-basi dari mereka itu kemudian dilanjutkan dengan obrolan yang (terlihat) cukup serius. Melihat itu, aku pun tertarik untuk mendekat ke lingkaran obrolan mereka. Setengah jam bergabung dan mendengarkan, aku tidak paham apa yang sedang mereka bicarakan. Guru wiyata, pembuatan karya, penempatan di sana, entahlah. Aku tidak mengerti konteks yang mereka bicarakan. Dan pembicaraan itu pun selesai ketika ada salah satu staff TU masuk ke ruang guru. Pembicaraan kasak kusuk yang cukup serius itu menguap dengan sendirinya, digantikan dengan obrolan ringan basi-basi kembali. Kalian tahu apa yang aku pikirkan? Kalian pasti tahu.

Aku pun kembali ke mejaku, membuka novel yang sengaja aku bawa dari rumah. Aku lebih baik masuk ke dalam kehidupan lain di dalam novel, daripada memikirkan hal-hal dalam pikiranku yang aku sendiri belum mampu menyimpulkan. Tidak lama kemudian, bel tanda pergantian pelajaran pun berbunyi. Semua guru dalam ruangan ini bergegas masuk ke kelas, tersisa aku sendiri. Hari ini aku memang tidak memiliki jam mengajar (Maaf? Jam mengajar? Kamu kan hanya diminta mendampi pak farid mengajar?). Well, hari ini tidak ada mata pelajaran produktif yang diampu pak Farid, jadi sebenarnya aku bebas tugas, tidak ada kegiatan. Jadi ya beginilah, aku sendirian di kantor dan berusaha menenggelamkan diri dalam kisah Rehan dan Diar.

Tiba-tiba, Bu Anik yang baru saja keluar dari ruang kepala sekolah memanggilku untuk menghadap Bapak Kepala Sekolah. Aku menurut. Sampai di dalam ruang Kepala Sekolah, ternyata beliau sudah menungguku. Yang membuatku heran, Bu Anik juga ikut duduk di sana bukan kembali ke meja kerjanya. Perasaan itu aku redam seperti biasa dan berusaha menunjukkan ekspresi sewajarnya. Bapak Kepala Sekolah seperti biasa langsung berbicara to the point tanpa aling-aling. Ada beberapa hal yang beliau sampaikan saat itu, pertama, beliau memintaku untuk menghandle presensi guru, presensi hadir dan presensi pulang. Kedua, beliau memintaku untuk mengampu mata pelajaran Seni Budaya, kemarin memang sudah pernah beliau sampaikan, hari ini beliau menjelaskan lebih detail mengenai materi pelajaran, jadwal mengajar, dan kelas yang diampu. Ketiga, aku diminta untuk menggantikan bu Rahma, menemani bu Defi memonitoring siswa-siswi kelas IX yang sedang PKL. Terakhir, dan "hal lain-lain", beliau memintaku untuk mengeluarkan ide-ide kreatif yang mampu membantu memajukan sekolah ini. Beliau "menginterogasi"ku berdasarkan bidang yang seharusnya aku ampu, Bahasa Indonesia. Beliau mengorek semua kemampuanku dalam berbahasa, bahkan hingga ke bidang kepramukaan. Yaa karena aku di sini masih sangat baru, aku hanya mendengarkan dan menimpali sebisaku. Saat itu, aku merasa topik pembicaraan yang diberikan Bapak Kepala Sekolah sudah mulai melenceng dari porsiku. Hal-hal di luar bidangku beliau jewantahkan kepadaku, seolah-olah aku ini seorang lulusan baru yang serba bisa, bukan seorang lulusan baru guru Bahasa Indonesia.

Hari ini aku masih berusaha memahami manajemen sekolah wiyata baktiku. Aku masih banyak diam dan mendengarkan. Lebih banyak memahami, mengumpulkan bukti-bukti, dan berusaha menyimpulkan. Hari ini aku tidak masuk kelas, namun aku masuk ke jalan menuju jantung sekolah ini. Semoga besok akan lebih baik dari hari ini.

"Selamat pagi, Bapak Ibu guru!", sapaan hangat dari bu Ulfah di kesunyian ruang guru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pembaca Dermawan nulis komentar, Pembaca Sopan follow Ulfah Mey Lida's Blog, Pembaca Budiman nulis komentar dan follow Ulfah Mey Lida's Blog.