Baru kemarin postingan terakhir terbit, malam ini sudah kepingin nulis lagi. Ahhh, Mei memang selalu mengusik hati.
Sebenarnya aku tidak sedang bersuka cita, hati ini justru terasa hampa tatkala bercengkrama dengan saudara seusai senja. Tadi, aku memergoki saudara yang saat ini duduk di bangku kelas sembilan sedang bersantai di teras rumahnya.
"Mbokya belajar, wong besok masih UN. Bahasa Inggris kan?"
Tak ada jawaban. Lantas aku tegur kembali.
"Nggak mau belajar?"
"Nggak punya bukunya." menjawab teguranku dengan muka nanar.
Astaga! Seketika itu pikiranku tersadar dan kembali ke beberapa bulan yang lalu. Ketika desa kami di landa banjir besar, sawah rumah tenggelam, harta benda melayang. Termasuk buku-buku pelajaran. Saat itu kami tidak sempat menyelamatkan apapun kecuali nyawa kami dan orang terdekat.
Seketika hati ini miris. Sedih, membayangkan siswa yang hendak ujian harus terlantar karena tak punya materi yang hendak dikhatamkan. Seperti merajut tanpa benang. Meski ada jarum dan kemauan, namun tetap tak bisa ciptakan baju rajutan. Bagaimanalah ini?
Aku tak kuasa membayangkan anak itu mengerjakan soal-soal berbahasa Inggris besok. Memahami pertanyaannya saja dia kesulitan apalagi harus memilih jawaban yang benar. Tanggung jawab siapakah ini? Guru? Orang tua? Saudara?
Dan ketika pertanyaan-pertanyaan itu terlontar, maka akulah yang harus disalahkan. Aku seorang guru. Aku terhitung saudara dari anak itu. Dan aku calon orang tua.
Aku tahu aku salah. Aku juga tahu aku harus bertanggung jawab. Tapi bagaimanalah? Sedang benang pun aku tak punya. Jarumku tak mampu merajut menebus kesalahan dengan harapan semu.
Picture by www.adaptive-edge.com |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pembaca Dermawan nulis komentar, Pembaca Sopan follow Ulfah Mey Lida's Blog, Pembaca Budiman nulis komentar dan follow Ulfah Mey Lida's Blog.