Hai!
Selamat Pagi!
Entah siapa yang salah. Entah pemimpin. Entah karyawan. Ketika di antara keduanya sudah tejadi ketimpangan, niscaya pekerjaan pun tidak akan terlaksana sebagaimana mestinya.
Pada hakikatnya, seorang pemimpin merupakan sosok yang dapat menjadi panutan. Sosok yang dapat diandalkan. Sosok yang dapat menegur ketika rakyat melakukan kekeliruan, serta dapat membetulkan yang menjadi kesalahan.
Selayaknya seorang rakyat/karyawan/bawahan, tugas utamanya adalah patuh kepada atasan. Mengerjakan apa yang telah diperintahkan. Mengemban tanggung jawab yang telah dibebankan. Dan mempertanggungjawabkan semua yang telah dikerjakan.
Sebuah skema yang seharusnya dapat terlaksana dengan cukup sederhana. Bukan hal yang muluk-muluk aku rasa. Akan tetapi, itu semua tak semudah mengeja pembentukan kata. Hal ini bahkan lebih rumit ketimbang mengembalikan rubik pada porosnya.
Masing-masing orang diciptakan dengan kemampuan berpikir yang berbeda. Nalar yang bekerja dalam masing-masing manusia tidak sama. Pola pikir yang disusun pun berbeda. Beberapa di antaranya bahkan memiliki kecenderungan mudah memutar-balikkan pikirannya. Sudah menjadi rahasia publik bahwa kaum Adamlah yang memiliki kecenderungan itu.
Lain lagi dengan perasaan. Kaum Hawa yang lebih banyak berkecimpung dalam ranah ini. Menimang-acuhkan perasaan sudah menjadi hal biasa. Tidak heran, banyak orang segan menggadaikan perasaan. Terlebih yang melibatkan kaum Hawa.
Aku tidak menyudutkan orang-orang yang bermuka dua. Pun orang dengan mulut berbisa. Karena kita tidak pernah bisa membuat orang memiliki pola pikir dan perasaan yang sama dengan kita. Mungkin dengan mengadu domba, mereka bisa mendapat perhatian dari pimpinan yang bersinggungan langsung dengan penghasilan bulanan. Mungkin pula dengan muka memelas mampu mengumpulkan simpati dari rekan kerja yang berkorelasi dengan bebas tugas tanpa tanggungan kerja. Mungkin.
Kadang aku tidak habis pikir. Sebenarnya apa yang mereka dapat dari itu semua. Layaknya karyawan yang suka cari muka, pimpinan pun bisa bermuka dua. Demi menjaga kekokohan tiang penyangga, hal itu sudah lumrah dilakukan aku rasa. Mengapa tidak? Semua orang memiliki sisi kemunafikan sendiri-sendiri. Untuk apa? Untuk menjaga kekokohan tiang penyangga!
Oh. Betapa jahatnya aku. Lantas, kau sebut apa orang-orang yang berkata "kerja untuk ibadah" namun serakah meminta jatah? CIH.
Memang susah hidup dalam kemunafikan, tapi lebih susah lagi hidup dalam ketertindasan. Ini alam Dunia. Orang baik selalu kalah dengan orang licik. Akan menjadi berbeda jika sudah berpindah di alam Baqa.
Hmmmmm, baiknya kita ambil simpulan dari semuanya. Etos kerja perlu ditegakkan. Bekerja sesuai dengan skema yang telah ditentukan. Dan, berhati-hatilah dengan lingkungan. Kawan bisa berarti lawan.
See ya!